Senin, 23 Februari 2009

Hari ini Bunda Menangis

Hari ini bunda menangis,
ada hasrat yang sangat menggugah hatinya
bunda ingin menyemai putik dari dahan mawarnya,
mawar yang tak sengaja terluka oleh durinya sendiri,
lama ia meringkik tertutup tak merekah pesona.

tangis bunda terkadang adalah lebat hujan,
yang membuat mawar semakin kuyup terluka bahkan hampir tersapu angin
tapi tangisnya juga gerimis doa,
yang membuat mawar kembang merekaah indah,lebih kokoh menatap masa depan

'medio feb '09

Medan ; adalah Medan

Medankah, ialah medan arti sebuah medan bernama Deli
Medankah, ialah medan arti sebuah medan bernama Maimoon
Medankah, arti sebuah medan Lapangan merdeka, tak berubah medannya walau berubah panggilannya menjadi si manis- Merdeka Walk
Medanlah medan perjalanan yang menuntun langkahku menaiki Damri bergores karat sumpek mengantarku pada estafet Damri ber-Ac ber TV. Walau Sudako pintu belakang tetap lambat berjalan berisik bergoyanggoyang, tapi sampai jua ke tujuan.
Medanlah, ialah medan arti sebuah medan perumahan menjadi mall dan hotel tinggi julangmenjulang.
Medanlah, ialah medan arti sebuah medan bagi pengutip penjual butut, loakan, eceran becek pajak bengkok, sukarame, kampung lalang, hingga grosiran tauke-tauke yang kerap singgah di Kesawan.
Medanlah, ialah medan,-medannya pengalaman yang menuntun tanganku menanam jika hendak berkehendak menuai bijibiji pendidikan diatas medan.
Medan, ialah medan metropolitan tapi juga baku hantam dan persaingan yang memaksamu gigih jika tak pelak tersulap medanmu pengangguran bahkan tersingkirkan,-

Medan, ialah medan yang mengurai kenangan
Medan, ialah medan yang menyaksikan sejarah kemenangan atau kekalahan
Medan, ialah medan yang mendewasakan setiap perjalanan
Tapi medan tetaplah medan;
Yang tetap ingin menortor dan melayarkan lancang kuning berlayar malam,
di tengah lajunya medan yang berdisko dan huruhara hurahura

Medan, 180808

Kamis, 19 Februari 2009

Jangan Setengah Hati


Melihatmu,
sedang kupahat sebuah kekuatan ritmis di hatiku

karena ketegaran seolah corak yang sakral di wajahmu,
entah aku belum mengenal,
entah belum erat tangan kita berjabat,
aku tak ingat keluhan sakral apa yang pernah kau ucap.
hanya lelucon, tawa yang bingar
atau semangat yang menyelinap dari
barisan kata dan ceritamu, lalu tertawa lagi

berkali-kali,
kudefenisikan lakonku adalah kegagalan
di setiap sisi dan jalan.
berkali-kali,
kulacurkan tangis penawar kelat
kisah lalu, tentangnya

telah banyak waktu kuhabiskan
di labirin ini, aku tersesat lama

ah,
jika lentera yang kau bawa,
jangan lakukan setengah hati
karena redup tak kan mampu
menerangi jiwa yang lama gelap

jika lengan yang kau tawarkan,
jangan julurkan setengah hati
karena lemah tak akan mampu menarik
rasa yang kaku

kenapa tidak mencari,
dimana setengah hati lagi bersembunyi

210109

Senin, 16 Februari 2009

Sastra itu Indah


Cetak E-mail
Friday, 26 December 2008 12:00 WIB
LINDA Y HASIBUAN
WASPADA ONLINE

alphabet.jpgTidak banyak anak zaman sekarang yang mau membaca sebuah karya sastra. Kata-katanya yang dirangkai dengan indah dan memiliki unsur seni yang tinggi ternyata dianggap membosankan. Namun sebuah prestasi yang mengagumkan berhasil diukir oleh sebuah sekolah dasar di Medan.

Baru-baru ini sekolah dasar Panca Budi di Medan mengukirkan prestasi mereka lewat sastra. Anak-anak yang masih berusia dini begitu mencintai dan menghargai sastra sehingga mereka di nobatkan sebagai juar ke-3 pada penghargaan lomba puisi yang diadakan oleh Balai Bahasa Pusat di Jakarta.

Prestasi anak-anak usia SD ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan para guru dan pihak sekolah. Bagaimana dan apa saja yang telah diberikan para pembimbing mereka sehingga mampu menuliskan nama sekolah mereka di Balai Bahasa pusat?

Berikut wawancara Waspada Online bersama Nur Hilmi Daulay, salah seorang guru di sekolah dasar Panca Budi Medan.

Sebagai pembimbing eskul sastra, bagaimana perkembangan sastra di Indonesia saat ini?

Sastra di Indonesia tentu saja selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Mulai dari angkatan 45, lalu ke angkatan 66 hingga ke sastra modern yang tidak terikat bait dan sajak. Bebas berkespresi. Mulai dari media cetak berbentuk koran, buku, majalah, hingga internet. Hanya saja apresiasi masyarakat serta instansi pemerintah tidak terlalu tinggi dalam bidang ini.

Ini terlihat dari kurang maraknya kegiatan dan tulisan berbau sastra di Indonesia baik dalam bentuk lomba maupun yang diterbitkan di media cetak yang berhubungan dengan sastra juga kurang memasyarakat dan hanya dikonsumsi para budayawan atau seniman atau sebagian kecil dari masyarakat. Padahal banyak siswa, mahasiswa, bahkan umum yang berbakat yang membutuhkan media untuk menyalurkan minat dan bakatnya.

Bagaimana menurut Anda mengenai minat para siswa saat ini terhadap karya sastra?

Sebenarnya banyak diantara para siswa yang berminat dan berbakat di bidang ini,karena itulah diperlukan bimbingan dan latihan untuk mengembangkan minat dan bakat tersebut.

Bagaimana kiat Anda dalam menumbuhkan minat para siswa SD ini terhadap karya sastra, sementara mereka masih tergolong anak-anak?

Sebenarnya ketika pelajaran bahasa Indonesia di kelas mereka telah disuguhi ilmu pengetahuan tentang dasar-dasar sastra, termasuk puisi, cerpen, drama, dan sebagainya. Dan dalam aplikasinya ada majalah dinding sekolah yang bisa mem-provokasi mereka untuk lebih tertarik dalam berkarya. Para pembimbing juga akan terus meng-upload informasi yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan tersebut agar anak-anak lebih terpacu.

Mengapa siswa-siswa ini cenderung menyukai sastra?

Jawabannya mungkin beragam ya, tergantung siswanya. Tapi secara umum mereka menyukainya karena ada kebebasan berekspresi di dunia sastra, anak-anak banyak yang suka akting, menulis, dan tentu saja karena sastra itu indah.

Lalu bagaimana mengatasi kejenuhan anak-anak ketika mereka jenuh menghadapi kegiatan ini?

Usia anak-anak SD masih termasuk usia belajar sambil bermain. Kalau jenuh, mereka bisa kita bawa belajar di alam, membaca karya yang sudah ada, atau dengan metode-metode lain yang dapat mengatasi kejenuhan mereka.

Apa kesulitan yang paling berarti ketika mengajarkan karya sastra kepada mereka?

Sebenarnya semua diawali dari keinginan. Biasanya anak-anak yg ikut ekskul adalah anak-anak yang memang punya minat dan bakat dibidang itu. Jadi menurut saya tidak ada kesulitan yang benar-benar berarti karena semua dimulai dengan niat dan hati. Kesulitan secara umum, adalah membuat mereka konsentrasi. Karena biasanya anak-anak konsentrasinya sebentar lalu kembali bermain, lalu diajak konsentrasi lagi.

Harapan-harapan para pembimbing kepada pihak terkait seperti sekolah, pemerintah, atau dinas pendidikan?

Saya berharap lebih ditingkatkan kepedulian dan apresiasi terhadap karya sastra. Karena sebenarnya banyak diantara kita yang punya bakat dan berpotensi besar. Lomba-lomba, wadah media, apresiasi materil juga perlu dipertimbangkan. Hose Rizal Manua juga membawa anak-anak Indonesia dan memenangkan beberapa medali di Moscow yang mengharumkan nama Indonesia dalam bidang seni di mata dunia, juga karena karya sastra dan seninya.

Bagaimana reaksi sekolah ketika mengetahui prestasi siswanya?

Alhamdulillah, sekolah senang sekali karena telah membawa nama sekolah ke pusat. Karena ada 2 siswa sekaligus yang memenangkan lomba. Juara II atas nama Danish Sahil dengan judul Sebait Doa dan juara harapan I Maghfira A Rahma dengan judul Ibuku Luar Biasa. Sedang juara I dari Papua, dan juara III dari Bali.

Temu sastrawan Indonesia, Jambi 2008

Oleh AFRION

BUNGA rampai Cerpen Indonesia bertajuk Senarai Batanghari memuat 13 judul cerpen diterbitkan dalam rangkaian pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia I, (7-11 Juli 2008) di Jambi. Disebutkan bahwa Senarai merupakan semacam kisah pendek yang dituturkan atau semacam bunga rampai yang berisi aneka kisah kehidupan. Sedangkan Batanghari merupakan nama sungai terpanjang di Jambi, dikiaskan bagai seekor naga dari selatan yang merepresentasikan kejayaan Melayu. Seekor naga yang menggeliat di tengah kemajuan peradaban, bergerak pelan dengan ketenangan airnya yang kuning kecoklatan.
Senarai Batanghari dengan berbagai sudut pandang yang menyoroti sisi baik dan sisi buruk dengan latar lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial. Mereduksi kembali latarbelakang kebudayaan, mengkritisi keberadaan alam dan nilai hidup manusia. Membuka wacana kesadaran berpikir dengan berbagai metafor kekinian termasuk persoalan yang sedang mengancam ekosistem makhluk hidup di bumi. Keberagaman tema dan pola ucap mengaktualisasikan persoalan kehidupan sehari-hari. Mulai dari Secangkir Kopi Penuh Dusta oleh Atik Sulistyowati sampai Serau oleh Yupnikal Saketi. Peristiwa yang mengesankan itu, mengandung makna manusia dalam konteks sebagai makhluk sosial memahami realitas alam, naturalisme alam, tanah, udara, dan air. Mahakam di Kalimantan Timur merupakan saksi kunci dalam cerpen Atik Sulistyowati (seperti halnya Batanghari di Jambi) yang menawarkan selaksa eksotika bumi penuh pesona, menghanyutkan kita untuk tak beranjak pulang. Kecuali kegelapan yang makin erat mengikat kita dalam lautan perasaan.
Sedangkan bunga rampai puisi Indonesia “Tanah Pilih” yang memuat 74 karya puisi dari Acep Syahril sampai Yvonne De fretes (sesuai abjad), melakukan penjelajahan yang memberikan tawaran-tawaran kreatif dan inovatif. Kreativitas penyair berekspresi lewat puisi-puisi naratif, ekspresif, imajis, dan liris, setidaknya telah mencatatkan namanya dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia dengan konteks lokalitas. Dra. Hj. Mualimah Radhiana M.Pd selaku kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi sebagai pemrakarsa sekaligus penyandang dana penyelenggaraan acara Temu Sastrawan Indonesia, memandang perlunya keberagaman ekspresi sastrawan ini terwadahi. Salah satunya menerbitkan buku bunga rampai 13 cerpenis Indonesia bertajuk “Senarai Batanghari” dan 74 puisi dari sastrawan Indonesia bertajuk “Tanah Pilih”, serta mengundang 14 budayawan sebagai pemakalah.
Gagasan meningkatkan kunjungan wisata “Visit Jambi 2008” yang kini digalakkan oleh pemerintah provinsi Jambi cq Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, lebih kepada penataan kota dan situs-situs sejarah. Selain melakukan penataan Candi Muara Jambi, melaksanakan even tingkat nasional, juga menerbitkan buku-buku sastra yang berkaitan dengan kota Jambi. Menelusuri objek wisata sungai Batanghari menuju Candi Muara Jambi, di atas “ketek” (sarana angkutan sungai) seakan berada di atas seekor naga besar yang gagah perkasa. Sungai Batanghari yang menggeliat di tengah kemajuan peradaban tanah Melayu, menyimpan situs sejarah sepanjang pinggiran sungai. Perjalanan yang mengesankan menghapus rasa penat dan kelelahan berpikir selama lebih dari 4 hari memperbincangkan pengambangan mutu sastra dengan segala permasalahannya di Indonesia dalam sesi diskusi yang dilakukan secara maraton dari mulai pagi hingga petang.
Berbagai persoalan sastra Indonesia diperdebatkan. Mulai dari pemetaan estetika sastra, orientasi kebebasan berekspresi, tradisi kritik sastra dalam masyarakat yang anti kritik, kebijakan penerbitan dan pembelajaran karya sastra Indonesia masa kini, dibicarakan dengan simpulan sederhana. Bersamaan itu pula dilakukan musyawarah sastrawan dengan agenda pembentukan sebuah lembaga yang memfokuskan aktivitasnya pada advokasi sastra. Rapat tim perumus advokasi sastra ini kemudian menetapkan terbentuknya Aliansi Sastra Indonesia dengan Surat Keputusan nomor 001/SK/JBI/VII/2008. Untuk merealisasikan pembentukan Aliansi Sastra Indonesia, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dilaksanakan pertemuan khusus membahas kelengkapan statuta organisasi dan susunan kepengurusan.
Tim perumus advokasi sastra terdiri dari Acep Zamzam Noor, (Jawa Barat), Afrizal Malna (Yogyakarta), Joni Ariadinata (Solo), Ahmadun Yosi Herfanda, Kartini Nurdin (DKI Jakarta), Afrion (Sumut), Atik Sulistiowati (Kaltim), Fadillah (Sumbar), Firdaus (Jambi), Koko P Bhairawa (Sumsel), Wahyu Sunan Kalimati (Sulsel), Triyanto Triwikromo (Semarang), Tan Lio Ie (Bali), dan Bambang Widiatmoko (Jabodetabek). Pembentukan Aliansi Sastra Indonesia didasarkan pada makin banyaknya persoalan yang dihadapi sastrawan, khususnya dalam hal menciptakan ruang kebebasan berekspresi. Dengan terbentuknya lembaga ini diharapkan memiliki bargaining power dan bargaining position, yang menempatkan sastrawan sebagai mitra pemerintah, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Ketertindasan sastra yang selama ini dirasakan membelenggu kebebasan berekspresi, mulai dari rejim Orde Lama dengan demokrasi terpimpin di bawah komando Presiden Soekarno, yang memposisikan seni sebagai alat revolusi, lalu pada zaman rejim Orde Baru di bawah pemerintahan militer Presiden Soeharto pada awal 1970-an, yang lebih mementingkan politik pembangunan dan membatasi kebebasan berekspresi seniman.
Selanjutnya di era reformasi, pintu kebebasan berekspresi terbuka luas. Berkenaan dengan itu, pengembangan seni budaya untuk masa depan diarahkan membangun semangat kebangsaan, mewujudkan identitas keindonesiaan melalui akar tradisi sebagai jati diri bangsa berseni, berbudaya, bernurani dan bernalar. Nalar dalam berucap dan bertindak adalah aktivitas yang memungkinkan kita berpikir logis menjangkau keberadaan bumi dengan segala isi dan keterbatasannya. Pada intinya bumi sebagai pusat kehidupan mempengaruhi pola hidup dan pola pikir manusia. Pencarian makna dalam kehidupan, tidak hanya mengandung misteri yang terasa transendental, tapi juga begitu ritmis memasuki wilayah kedaulatan individu. Sebanyak 64 judul puisi Nur Hilmi Daulay berkisah tentang nalar manusia bertajuk Gemuruh; pada pemilik teduh, yang resmi diluncurkan bersamaan dengan acara panggung apresiasi sastra (9 Juli 2008) di taman Budaya Jambi. Buku ini merupakan gejolak diri dari seorang penulis wanita asal Medan. Ia datang ke Jambi dengan keberanian dan semangat memasuki wilayah kesastraan Indonesia.
Dengan kepekaan naluri dan cinta yang bergelora, baginya kehidupan sepanjang usia memahami setiap perubahan, menaklukan rintangan, merasakan nikmat karunia. Dari dunia kegelapan menuju cahaya senantiasa membawa diri mencapai impian, namun diri terkadang tidak mampu memaknai hukum sebab akibat yang terjadi. Ketika tubuh setiap kali meniupkan terompet kematian sebagai pertanda akhir hidup, roh dijemput malaikat pencabut nyawa, maka tubuh akan meninggalkan kenangan dan juga warisan. Sebaliknya kematian sebagai bentuk penyerahan diri kepada sang maha pencipta langit dan bumi, adalah bagian dari pertanggungjawaban. Sebuah warisan, tidak berarti karena adanya kematian. Warisan adalah sejarah yang akan hidup sepanjang masa.
Warisan ditinggalkan kepada kita tanpa surat wasiat, demikian Karlina Leksono Supelli mengutip ungkapan Rene Char Arendt penyair Perancis dalam bukunya Between Past and Future. Suatu keadaan yang memperlihatkan peradaban kebudayaan yang ditinggalkan dalam pertarungan menjaga warisan masa lalu di masa depan. Hal yang tak dapat dihindari setiap generasi, karena kehadirannya tidak mungkin menyangkal adanya kesinambungan sejarah. Maka bunga rampai Cerpen dan puisi Temu Sastrawan Indonesia I dari Senarai Batanghari, dan Tanah Pilih sampai Gemuruh; pada pemilik teduh diharapkan menjadi sebuah peninggalan warisan sejarah yang kelak menjadi cermin untuk melihat perkembangan kreatifitas masa lalu di masa depan.

Pengaduan

Tuhan !

Bumi memaki aku lagi

Dan aku latah mengeja firmanMu

Karena kataku mandul

(260906)


Jumat, 13 Februari 2009

Nyanyi Hidup, Ayat-ayat Tuhan

Do Re Mi,
Alif Ba Ta
Nyanyi hidup,
Ayat-ayat Tuhan
Lidahmu mengeja aksararealita tapi belum ungkap makna
Seperti hidupmu yang kelam legam
Masih kucari makna jeritmu; kerap berganti nada jadi cacimaki sumpahserapah pada bedebah. Lalu meratapi garis takdir compngcamping yang bertaut dalam jelaga kepapan yang nyaris sempurna.
Lakonmu adalah tarian nestapa nyanyi hidup, hingga Tuhan menangisi doadoa kita, lalu ikut memakimaki sepah bumi.
Dan tangan malaikatpun keram menulisi catatn dosa-dosa yang saling berhimpit pada rumah usia - kita - merutuki ayatayatNya
Masih hitam kelebat awan naungi harihari jatuh.
Seperti sang kelana pulang ke peraduan, bumi mengeluh letih, kadang marah, kadang sinis. Amarahnya berkobar api dari dadanya yang menjulang sempurna. Ia hempashempaskan tubuhnya yang lapar, hingga lidahnya menjulur menyapu raga penghuninya, tak kenal karma tak kenal kasta.
Ah, siapa bilang bumi enggan berbagi rasa.
Masih kucari makna jeritmu; sebuah nada sumbang fatamorgana asa dan remah semangat diantara kamuflase hidup atau mati.
Kau yang beringsut memperbaiki denah jalan hidupmu,
Harus teronggok lagi
Beberap kepal tanah masih merah
Tapi kamboja terus saja jatuh
Do Re Mi,
Alif Ba Ta
Nyanyi hidup,
Ayat-ayat Tuhan
Lidahmu mengeja aksararealita tapi belum ungkap makna
Seperti hidupmu yang kelam legam
Matamu nelangsa,
Lidahmu mengeja
Do Re Mi
ALif Ba Ta

Sepenggal Cinta Buat Perempuanku

senja sudah datang seperti umurmu mulai layu,
tapi serenade cintamu masih bernada seindah dawai
senyum itu masih merekah dalam garis-garis wajahmu yang mulai tersirat jelas
sahaja tak terhitung angka masih indah terlukis dalam figura hidupmu yang tak jua letih
perempuanku,
masih ingatkah betapa berat orokmu membawaku dari gelap menuju terang
masih ingatkah lingkar hitam di kelopak matamu karena lelap begitu langka pada malam peluk larut rengek manjaku
ah,
kau terlalu mulia bahasakan keluh
satu saat matamu berkaca,
kala kutergeletak dengan tatapan yang bermain bersama roda-roda maut
airmatamu jatuh menyentuh bumi bersama lidahmu yang berdoa lamat-lamat
ingin kuseduh airmatamu dengan bahasa cintaku
tapi tangan ini begitu kerdil
lidah ini begitu kelu
jari ini tak lentik
hanya hati yang berceloteh cinta tanpa ritme
dan,
kala doamu menjelma kekuatan mujarab memenuhi nadi-nadiku,
aku tau,
cintamulah yang terindah..

Sajakku

Kutulis lagi sajak-sajak baru pada batu-batu. Karena sajakku hanyalah sajak para batu.
Menulis impian serupa menulis lajunya semangat kepak sayap elang. Aku ingin membingkai hariku serupa deras alur sungai yang mengalir di tubuh pertiwiku.
Telah kutulis juga tentang cerita bocah-bocah kembara yang mengasi hidupnya di atas sisa-sisa ludah yang lain. Tanah-tanahmu yang kadang lembab, kadang tandus, kini penuh Lumpur. Tak cukup rumah-rumah, padi-padi kami melambai-lambaikan tangannya meminta penghibaanmu. Tapi banyak diantara kami mungkin terlalu sombong lama tak menegurmu.
Ingin kutulis juga tentang ikan-ikan yang menari dalam baharimu. Di tengah-tengah tariannya, ia mengadu pada bahari tentang buasnya makhluk bernama manusia di atas bumi. Tintaku tak cukup terang menggarisbawahi apakah tarian ikan hanya sebuah provokasi atau memang kesalahan dahsyat dalam aneka birokrasi hidup bumi. Bahari kadang diam bungkam. Tapi suatu kali emosinya membirahi menghanyutkan deru nafas keangkuhan, kenistaan, kepaan, kesengsaraan, semua berkumpul menjadi bubur Lumpur dalam kubahmu. Langit hanya mampu menatap, menangis. Airmatanya serupa tinta kadang putih, kadang merah, lalu hitam, kelam, kusam
Sajak yang padam.
Kekasih, masih aku merindukan terang dari gelap yang kau titipkan. Masih kurindukan kemaafan dalam alfaku yang begitu dalam
(‘07)

Sigaret

Katamu sigaret itu penawar kelat dalam kemelutmu yang pekat
Aku terperanjat;
Saat kulihat asapnya menjerat
Kau dan aku terperangkap
Pengap
Maut memanggil
Lambat
Lamat-lamat
(120207)

Kucoba

Terus kucoba pahami rindu yang tumpah meruahruah semakin lelah mengalah, pun kerap goyah dalam pertarungan nilai selaksa percaya dalam muara hatiku tentangMu,
Terus kucoba pahat asmaMu di setiap hela nafas dalam masa dan ruang, pun kerap berubah selaksa menjadi meninggi muliakah atau merendah hinakah di pertarungan muara hatiku serupa warna yang memantul dalam kornea mataku, maka kulihat kebesaranMu disana
Pada desau angin yang mengirimkan kalimahMu ke dalam gendang telingaku, pada keajaiban malam yang berpamitan pada siang, pada suara jangkrik serupa nyanyian yang menemani hati bermunajat dalam kerinduan pada sang kekasih.
Kucoba selami makna alam
Kucoba melihatMu dengan melihatnya
Smoga tersampailah syukurku
(230607)

Gemuruh ; Pada Pemilik Teduh

Gemuruh
Rindu teduh
Aku lusuh utuh
Jengah aku pongah hampa
Jemu kembaraku jamu sunyi melesat beringas
padahal sudah membaur lafal namamu menyatu ruhku
sudah kujeritkan cintaku hatiku penuh suara hanya padamu
dan kornea ini tak kenal wajah, tak kenal arah
tangis telah jelma lentera
Kekasih,
bukan ini retorika durja
karena filsafat sudah jadi karat
terlalu rindu,
terlalu hampa
(060607)

Mencerna Jeda

Kau seolah tak enggan menunggu deras air yang tumpah dari mataku berhenti untuknya. Masih kucoba pahami semua, diam aku tak berarti gagu mencerna katamu di ruang bisu; “Biarkan kucintaimu, kau cintainya, dan dia entah cinta siapa” terbata-bata kau hujani aku dengan kata. Padahal cinta mungkin sedang menertawakan kita, mengejek dan mengaminimu yang bermain dalam hujan kata-katamu samar makna kucerna. Dan ketakutan memeluk tubuhku dan tubuhmu begitu erat rapat, sementara kecewa kerap bersembunyi di balik pintu mencuri dengar pembicaraan kita.
Masih kucoba pahami semua, memilah yang terpilah, menjaga yang kerap tak terjaga, mencerna jeda lengkapi sela, walau tak mungkin sempurna.
Letih bermukim, segitiga tempat kita berhimpit terlalu sempit, kita mesti keluar..
(020407)

Prolog Tak Terbuang


Kita kerap bersembunyi di labirin waktu
Sementara kisah membelukar seyogyanya kita benahi
Tapi terlalu pengecut kita haus restu
Sementara ladang kita terlalu gersang akannya
Aku ingin menatapmu
Menyanjungmu, mengagumimu sesungguhnya
Bukan hanya dalam kenangan pengembara yang singgah
dari satu kota ke kota lain, lalu mengumpulkannya menjadi fiksi sepertiga malam
Aku ingin menghitung keakraban yang tak terhitung, bodohkah?
Apakah harus denting yang seharusnya tak denting
Telah kulacurkan hatiku hingga idealisme mengalah tak kalah dalam mulianya mencintaimu, di benakku
Lalu kejalan mana lagi kita melangkah
Sementara labirin ini begitu panjang dan berkali-kali kita tersesat
Merindumu, adalah Prolog yang tak terbuang
Dalam drama yang seolah tak berkesudahan
(090607)