Jumat, 13 Februari 2009

Sajakku

Kutulis lagi sajak-sajak baru pada batu-batu. Karena sajakku hanyalah sajak para batu.
Menulis impian serupa menulis lajunya semangat kepak sayap elang. Aku ingin membingkai hariku serupa deras alur sungai yang mengalir di tubuh pertiwiku.
Telah kutulis juga tentang cerita bocah-bocah kembara yang mengasi hidupnya di atas sisa-sisa ludah yang lain. Tanah-tanahmu yang kadang lembab, kadang tandus, kini penuh Lumpur. Tak cukup rumah-rumah, padi-padi kami melambai-lambaikan tangannya meminta penghibaanmu. Tapi banyak diantara kami mungkin terlalu sombong lama tak menegurmu.
Ingin kutulis juga tentang ikan-ikan yang menari dalam baharimu. Di tengah-tengah tariannya, ia mengadu pada bahari tentang buasnya makhluk bernama manusia di atas bumi. Tintaku tak cukup terang menggarisbawahi apakah tarian ikan hanya sebuah provokasi atau memang kesalahan dahsyat dalam aneka birokrasi hidup bumi. Bahari kadang diam bungkam. Tapi suatu kali emosinya membirahi menghanyutkan deru nafas keangkuhan, kenistaan, kepaan, kesengsaraan, semua berkumpul menjadi bubur Lumpur dalam kubahmu. Langit hanya mampu menatap, menangis. Airmatanya serupa tinta kadang putih, kadang merah, lalu hitam, kelam, kusam
Sajak yang padam.
Kekasih, masih aku merindukan terang dari gelap yang kau titipkan. Masih kurindukan kemaafan dalam alfaku yang begitu dalam
(‘07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar